Sekitar Kita

Dilema Ekonomi dalam Penutupan PLTU, Apakah Keuntungannya Setimpal?

  • Urgensi restrukturisasi komitmen keuangan dan pengembangan inovasi dalam teknologi jaringan listrik untuk mencapai tujuan energi terbarukan Indonesia adalah tanggung jawab negara, bukan dikategorikan sebagai kerugian negara
Sekitar Kita
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Author

JAKARTA -  Komitmen untuk transisi energi kini telah beralih dari Presiden RI ke-7, Joko Widodo, kepada Presiden Prabowo Subianto. Harapannya Indonesia mampu terus konsisten menjalankan transisi energi, terutama mempercepat proses pensiun PLTU batu bara.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudistira mengatakan, dalam upaya transisi energi Indonesia, pemerintah perlu melihat keuntungan dari pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) sebagai bagian dari pencapaian emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat.

Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini mengkhawatirkan potensi kerugian negara dari pensiun PLTU Cirebon-1, dengan alasan biaya besar yang ditanggung PLN dan APBN, terutama terkait peningkatan grid-transmisi untuk energi terbarukan. Menurut Bhima kekhawatiran Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan PLN sama sekali tidak berdasar.

“Jika peningkatan grid-transmisi memerlukan investasi, maka itu adalah tanggung jawab pemerintah melalui APBN dan kerjasama swasta untuk meningkatkan bauran energi terbarukan," kata Bhima dalam analisis CELIOS dilansir Kamis, 7 November 2024.

Dia menambahkan ini seharusnya tidak dipandang sebagai kerugian negara. Melainkan sebagai keuntungan dari penghematan biaya subsidi, kompensasi listrik, dan biaya kesehatan.

Hal ini didasarkan pada, penghentian PLTU batu bara yang kini menarik perhatian sejumlah pihak, dengan dukungan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang berencana menghentikan 13 PLTU, termasuk Cirebon-1, lebih awal dari jadwal.

Sayangnya kendala infrastruktur dan finansial yang dianggap beban justru disebabkan oleh kelebihan pasokan listrik, terutama di Jawa dan Sumatra, yang mengakibatkan kerugian finansial diperkirakan mencapai Rp18 triliun pada tahun 2023 karena kapasitas yang tidak terpakai.

Bhima menambahkan bahwa paradigma dalam mengindikasikan kerugian negara juga problematis. Padahal menurutnya peningkatan belanja pemerintah untuk proyek berbasis bahan bakar fosil, seperti bandara dan ibu kota baru IKN Nusantara, telah menguras sumber daya keuangan, sehingga mengurangi dana untuk proyek terbarukan.

Indonesia perlu bergerak cepat. Negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam telah berinvestasi besar dalam peningkatan transmisi untuk mendukung energi terbarukan. Negara ini mengadopsi teknologi jaringan pintar untuk meningkatkan efisiensi dan keandalan. Ini berpotensi menurunkan biaya bagi konsumen dan mendukung integrasi energi terbarukan, yang dapat menjadi contoh bagi Indonesia.

“Secara keseluruhan, urgensi restrukturisasi komitmen keuangan dan pengembangan inovasi dalam teknologi jaringan listrik untuk mencapai tujuan energi terbarukan Indonesia adalah tanggung jawab negara, bukan dikategorikan sebagai kerugian negara,” kata Bhima.

Adhinda Maharani Rahardjo, Koordinator Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon), menekankan bahwa narasi tentang potensi 'kerugian negara' akibat pensiun dini PLTU tidak relevan, terutama jika dilihat dari sudut pandang masyarakat di Cirebon Timur.

“Masyarakat sekitar telah bertahun-tahun merasakan efek buruk dari PLTU—polusi udara yang mengganggu kesehatan, kerusakan lingkungan yang memengaruhi mata pencaharian, dan kualitas hidup yang menurun,” katanya.

Dia menambahkan, mengabaikan suara masyarakat hanya akan memperpanjang beban sosial dan lingkungan yang selama ini mereka tanggung.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 07 Nov 2024 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 14 Nov 2024